Ukurannya tak begitu
besar jika dibandingkan dengan jenis
jembatan lain yang sering ditemui di Kota Makassar. Jembatan yang
membentang di atas Sungai Jeneberang ini, memberikan kemudahan akses
manusia dan barang dari dan menuju kompleks Benteng Somba Opu menuju
akses jalan utama Jalan Daeng Tata, Kota Makassar. Di ujung jembatan
yang berada di ambang kompleks Benteng Somba Opu Anda akan disambut
dengan sebuah gapura tua yang tampak lapuk. Pada gapura tersebut
terpampang jelas papan yang bertuliskan “Selamat Datang di Kawasan
Benteng Somba Opu”.
Tidak seperti ketika Anda mengunjungi benteng lain yang masih utuh bangunan fisiknya layaknya Fort Rotterdam, di kompleks Benteng Somba Opu Anda hanya akan menemukan beberapa baris arsiran tembok yang tersisa dan tak utuh seluruhnya seperti di masa jayanya dulu yang berupa benteng yang sepenuhnya tertutup dengan satu atau beberapa gerbang sebagai akses untuk keluar dan masuk dalam lokasi benteng. Pertempuran hebat antara Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin dan penjajah Hindia Belanda pada 1666-1669, mengakibatkan kerusakan serius pada dinding benteng sehingga yang hanya bisa kita saksikan hari ini hanya beberapa bagian yang tersisa. Pada sisi barat kompleks, masih tampak dinding benteng yang membentang sepanjang ±198 m2 dengan tebal dinding hingga 12 kaki atau 3,6 meter, namun dinding ini tak sepenuhnya tersusun oleh batu padas tetapi dibagian tengahnya terisi oleh tanah gembur yang kini di atasnya ditumbuhi rumput hijau.
Sebelum sampai di lokasi sisa reruntuhan benteng, Anda akan disuguhkan pemandangan menarik barisan rumah-rumah adat dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Jalanan aspal yang kadang diselingi jalanan yang dibalut paving block akan membawa Anda bertamasya ke berbagai daerah dalam khasanah Makassar-Bugis seperti tampak pada wilayah yang berada di sisi timur kompleks, berdiri beberapa rumah adat khas Kabupaten Maros, Selayar, Jeneponto, Takalar dan lain-lain. Pemandangan itu kian genap oleh kehadiran beberapa objek menarik seperti Kompleks Pasar Seni, Baruga Somba Opu, Museum Karaeng Pattingaloang dan Masjid Ussisa Alattaqwa, yang sesekali diselingi hamparan sawah, pemukiman warga dan barisan pohon berukuran besar yang memberikan kesejukan di tengah teriknya matahari.
Jika belum merasa puas, Anda bisa berkeliling di seputaran kompleks Benteng Somba Opu dan mengunjung beberapa rumah adat yang terletak terpisah dari rumah-rumah adat lainnya seperti rumah adat Toraja, Sengkang, Gowa dan Makassar.
Sejatinya, Benteng Somba Opu sekarang ini adalah sisa reruntuhan dengan beberapa dinding yang masih kokoh berdiri. Bentuk benteng ini pun belum diketahui secara persis meski upaya ekskavasi terus dilakukan. Tetapi menurut peta yang tersimpan di Museum Makassar, bentuk benteng ini segi empat. Di akhir tahun 1980-an, Benteng Somba Opu ‘ditemukan kembali’ oleh sekelompok ilmuan. Baru pada tahun 1990 puing-puing tembok benteng diekskavasi dan sebagian lagi direkonstruksi.
Ada tiga bastion yang masih terlihat sisa-sisanya, yaitu bastion di sebelah barat daya, bastion tengah, dan bastion barat laut. Yang terakhir ini disebut Buluwara Agung. Di bastion inilah ditempatkan sebuah meriam paling dahsyat yang dimiliki orang Indonesia: Meriam Anak Makassar. Bobotnya 9.500 kg, panjang 6 meter, dan diameter 4,14 cm.
Sesuai model yang tercetak pada peta dokumen di Museum Makassar, benteng ini berbentuk segi empat dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang 2 kilometer dari barat ke timur. Ketinggian dinding benteng yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tetapi dulu, tinggi dinding sebenarnya adalah antara 7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter. Lorong-lorongnya pun tertutup bak kubah setengah lingkaran.
Pada tahun 1991, kawasan benteng dibuat menjadi Open Air Museum dengan membangun tambahan rumah-rumah adat yang mewakili semua suku bangsa Sulawesi Selatan, menjadikan tempat ini sebagai area terbuka bagi ilmuan dan seniman melakukan penelitian dan berkarya di situ.
“Rumah-rumah adat ini dibangun tahun 1991 oleh pemerintah bersamaan dengan berakhirnya proses ekskavasi yang pertama pada Benteng Somba Opu”, tutur Jampa Daeng Ngemba, warga asli yang masih tetap bertahan di kompleks Benteng Somba Opu bersama keluarganya. Ia juga menceritakan, semenjak pemerintah melakukan banyak pembangunan di dalam kawasan benteng, orang-orang dari luar mulai masuk dan ikut menetap dalam kawasan ini dan kini hidup tentram bersama warga asli di situ.
Ada yang menarik ketika memandang sisa reruntuhan dinding benteng yang terletak di sisi timur kompleks tadi. Pada titik pertemuan antara dua dinding benteng yang saling bersilangan, terdapat bangunan yang menyerupai rumah namun berukuran kecil yang dilindungi oleh atap berukuran besar dan berundak dua. Menurut pengakuan Baco Daeng Nyarrang, warga asli Somba Opu, di tempat tersebut dikuburkan Karaeng Maccini Sombala, tokoh yang disegani sekaligus menjadi teladan warga Kerajaan Gowa dahulu kala. Pria kelahiran 1942 ini juga menceritakan kegigihan Maccini Sombala dalam perjuangannya melawan penjajah Belanda di masa-masa awal kolonisasi. Kisah ini ia ungkapkan berdasarkan cerita turun temurun keluarganya yang masih kerabat dekat Karaeng Maccini Sombala. “Sekarang adik saya yang jadi juru kunci makam itu, setelah saya pensiun karena usia yang tidak memungkinkan”, ungkap pria yang kini
berprofesi sebagai penyedia jasa Becak Motor di seputaran kompleks.
Setiap bulan Agustus warga asli di kawasan Somba Opu mengadakan semacam ritual untuk mengenang kegigihan Karaeng Maccini Sombala, biasanya dalam bentuk ziarah kubur, makan bersama dan adu ayam jantan di sekitar lokasi makam. “Orang-orang dari luar Somba Opu juga banyak pada saat ritual dilakukan, katanya banyak barakka’na (berkahnya) kalo ikut berziarah”, aku Daeng Nyarrang sambil menenangkan cucunya yang sedang menangis. Tidak hanya di bulan Agustus, di hari-hari lain pun banyak pengunjung yang datang berziarah di makam Karaeng Maccini Sombala. Konon, ketika berziarah dan berdoa di makam tersebut, doa yang dipanjatkan
kemungkinan besar akan dikabulkan. “Dulu ada seorang cina keturunan yang berasal dari Pangkep datang dan memanjatkan doa, kemudian doanya dikabulkan akhirnya ia membangun rumah berdinding tembok sebagai pelindung makam”, kenang Daeng Ngemba.
Namun sebelum Karaeng Maccini Sombala gugur dan dimakam di situ, sebuah masjid kerajaan pernah berdiri di lokasi tersebut. Hal ini dituturkan oleh Staf UPTD Pengelola Benteng Somba Opu, Yusuf Husain. Lebih lanjut bapak bertutur santun ini melanjutkan, pengembangan dan revitalisasi Benteng Somba Opu digagas dan dimulai di era Pemerintahan Gubernur Ahmad Amiruddin (1983-1993). Sosok yang dikenal cerdas ini membagi tiga kawasan besar Makassar dan sekitarnya:
Pusat niaga di Kota Makassar sendiri; Pusat Industri di Kawasan Kima (sekitar Maros), dan Pusat Budaya dan Sejarah di kawasan Benteng Somba Opu (Gowa) –sepanjang pesisir pantai hingga menyentuh di area Fort Rotterdam. Tidak tanggung-tanggung, Gubernur Amiruddin mematok luas kawasan Benteng Somba Opu sebanyak 300 ha. Tapi sayang, gagasan besarnya ini belum sempat rampung hingga beliau mengakhiri jabatannya. Kawasan Benteng Somba Opu hanya sebesar 150 ha. “Kalau luas kawasan benteng bisa mencapai 300 ha ketika itu, maka cakupan luas kawasan ini sampai di Akkarena, tempat permandian milik GMTD sekarang,” ungkap Yusuf serius.
Di bawah pengawasan dan pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, kawasan Benteng Somba Opu kini berkembang menjadi objek wisata yang layak dikunjungi oleh wisatawan lokal dan asing. Selain panorama yang memikat oleh kehadiran banyak objek menarik, kawasan ini pun menawarkan rekaman sejarah perjuangan Kerajaan Gowa dalam melawan penjajah, yang bisa dinikmati melalui museum dan beberapa objek yang masih tersisa di kawasan ini. Selain itu, panorama alamnya masih lumayan asli dan asri. Ratusan pohon berukuran
‘raksasa’ dan Pohon Lontara dapat pengunjung temui setiap melempar pandangan. Seminggu pengunjung bisa mencapai 500 orang, termasuk para turis asing. Mereka kebanyakan dari negara Austria, Belanda, Inggris, dan Jepang.
“Turis Jepang senang sekali dengan panorama Benteng Somba Opu. Masih asli katanya. Karena senangnya, mereka minta bermalam di Museum Pattingaloang,” kata Yusuf. “Tapi, maaf tidak bisa, silakan tuan kembali ke hotel,” lanjut Yusuf, mengurai ceritanya dengan tertawa.
Kawasan Benteng Somba Opu sangat berpotensi dikembangkan. Kekayaan sejarah dan lokasinya yang strategis menjadi kekuatan tersendiri. Kekuatan ini ternyata terbaca oleh H Zainal Thayeb, putra
Mandar yang sukses sebagai pengusaha bidang pariwisata di Bali. Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Bali ini, Mei 2010 lalu telah menyatakan kesiapannya untuk mengelola Kawasan Benteng Somba Opu. Beliau merencanakan akan membangun taman burung seluas 6 ha, dan wisata outbound seluas 14 ha.
“Ini sangat menguntungkan kedua belah pihak. Luas Benteng Somba Opu 7 ha, sementara luas kawasannya sebesar 150 ha. Masih banyak lahan tidur yang bisa dikembangkan, asal tidak merusak dan mengganggu keberadaan situs benteng,” urai Yusuf bersemangat. “Tidak cuma itu, pengusaha itu juga tengah menjajaki membangun hotel bertingkat yang menghadap ke laut,” tambahnya cepat.
Belum lagi panorama Sungai Jeneberang nan eksotik, sangat sayang dilewatkan bagi mereka yang mengaku penikmat keindahan. Rumput hijau bak karpet Persia terhampar begitu saja di sisi-sisi sungai. Menurut penuturan sejarah, sungai yang terletak di Selatan benteng ini adalah urat nadi perdagangan di saat Makassar menjadi salah satu Bandar terpenting di dunia. Perahu-perahu ukuran sedang dan kecil hilir mudik, mengangkut orang dan barang dari kapal-kapal besar yang tertambat di laut lepas, di depan Benteng Somba Opu. Sangat ramai. Kota Makassar yang berpusat di Benteng Somba Opu ketika itu adalah salah satu kota bertaraf dunia –selain terpenting juga terpadat penduduknya. Berdiri di sisi sungai, Anda bisa membayangkan masa-masa pertengahan abad 16 –kesibukan para pedagang, ramainya perahu dan kapal-kapal besar yang merapat, hingga dahsyatnya peperangan Makassar yang dipimpin Sultan Hasanuddin- dengan cara Anda sendiri.
Benteng Somba Opu dibangun oleh Sultan Gowa ke-IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapa‘risi‘ Kallonna pada tahun 1525. Pada tanggal 22 Juni 1669, benteng ini dikuasai VOC dan dihancurkan hingga terendam oleh ombak pasang.
Benteng Somba Opu yang terletak di Jalan Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa ini, berjarak kurang lebih 7 kilometer sebelah Selatan pusat Kota Makassar. Kawasan ini dapat diakses dari pusat Kota Makassar (Lapangan Karebosi) dengan angkutan kota (petepete) atau taksi. Jika menggunakan angkutan kota, dari Lapangan Karebosi menumpang angkutan kota jurusan Cenderawasih. Dari Jalan Cenderawasih berganti angkutan menuju Benteng Somba Opu. [V]
Tidak seperti ketika Anda mengunjungi benteng lain yang masih utuh bangunan fisiknya layaknya Fort Rotterdam, di kompleks Benteng Somba Opu Anda hanya akan menemukan beberapa baris arsiran tembok yang tersisa dan tak utuh seluruhnya seperti di masa jayanya dulu yang berupa benteng yang sepenuhnya tertutup dengan satu atau beberapa gerbang sebagai akses untuk keluar dan masuk dalam lokasi benteng. Pertempuran hebat antara Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin dan penjajah Hindia Belanda pada 1666-1669, mengakibatkan kerusakan serius pada dinding benteng sehingga yang hanya bisa kita saksikan hari ini hanya beberapa bagian yang tersisa. Pada sisi barat kompleks, masih tampak dinding benteng yang membentang sepanjang ±198 m2 dengan tebal dinding hingga 12 kaki atau 3,6 meter, namun dinding ini tak sepenuhnya tersusun oleh batu padas tetapi dibagian tengahnya terisi oleh tanah gembur yang kini di atasnya ditumbuhi rumput hijau.
Sebelum sampai di lokasi sisa reruntuhan benteng, Anda akan disuguhkan pemandangan menarik barisan rumah-rumah adat dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Jalanan aspal yang kadang diselingi jalanan yang dibalut paving block akan membawa Anda bertamasya ke berbagai daerah dalam khasanah Makassar-Bugis seperti tampak pada wilayah yang berada di sisi timur kompleks, berdiri beberapa rumah adat khas Kabupaten Maros, Selayar, Jeneponto, Takalar dan lain-lain. Pemandangan itu kian genap oleh kehadiran beberapa objek menarik seperti Kompleks Pasar Seni, Baruga Somba Opu, Museum Karaeng Pattingaloang dan Masjid Ussisa Alattaqwa, yang sesekali diselingi hamparan sawah, pemukiman warga dan barisan pohon berukuran besar yang memberikan kesejukan di tengah teriknya matahari.
Dulu ada seorang cina keturunan yang berasal dari Pangkep datang dan memanjatkan doa, kemudian doanya dikabulkan akhirnya ia membangun rumah berdinding tembok sebagai pelindung makam
Jika belum merasa puas, Anda bisa berkeliling di seputaran kompleks Benteng Somba Opu dan mengunjung beberapa rumah adat yang terletak terpisah dari rumah-rumah adat lainnya seperti rumah adat Toraja, Sengkang, Gowa dan Makassar.
Sejatinya, Benteng Somba Opu sekarang ini adalah sisa reruntuhan dengan beberapa dinding yang masih kokoh berdiri. Bentuk benteng ini pun belum diketahui secara persis meski upaya ekskavasi terus dilakukan. Tetapi menurut peta yang tersimpan di Museum Makassar, bentuk benteng ini segi empat. Di akhir tahun 1980-an, Benteng Somba Opu ‘ditemukan kembali’ oleh sekelompok ilmuan. Baru pada tahun 1990 puing-puing tembok benteng diekskavasi dan sebagian lagi direkonstruksi.
Ada tiga bastion yang masih terlihat sisa-sisanya, yaitu bastion di sebelah barat daya, bastion tengah, dan bastion barat laut. Yang terakhir ini disebut Buluwara Agung. Di bastion inilah ditempatkan sebuah meriam paling dahsyat yang dimiliki orang Indonesia: Meriam Anak Makassar. Bobotnya 9.500 kg, panjang 6 meter, dan diameter 4,14 cm.
Sesuai model yang tercetak pada peta dokumen di Museum Makassar, benteng ini berbentuk segi empat dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang 2 kilometer dari barat ke timur. Ketinggian dinding benteng yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tetapi dulu, tinggi dinding sebenarnya adalah antara 7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter. Lorong-lorongnya pun tertutup bak kubah setengah lingkaran.
Pada tahun 1991, kawasan benteng dibuat menjadi Open Air Museum dengan membangun tambahan rumah-rumah adat yang mewakili semua suku bangsa Sulawesi Selatan, menjadikan tempat ini sebagai area terbuka bagi ilmuan dan seniman melakukan penelitian dan berkarya di situ.
“Rumah-rumah adat ini dibangun tahun 1991 oleh pemerintah bersamaan dengan berakhirnya proses ekskavasi yang pertama pada Benteng Somba Opu”, tutur Jampa Daeng Ngemba, warga asli yang masih tetap bertahan di kompleks Benteng Somba Opu bersama keluarganya. Ia juga menceritakan, semenjak pemerintah melakukan banyak pembangunan di dalam kawasan benteng, orang-orang dari luar mulai masuk dan ikut menetap dalam kawasan ini dan kini hidup tentram bersama warga asli di situ.
Ada yang menarik ketika memandang sisa reruntuhan dinding benteng yang terletak di sisi timur kompleks tadi. Pada titik pertemuan antara dua dinding benteng yang saling bersilangan, terdapat bangunan yang menyerupai rumah namun berukuran kecil yang dilindungi oleh atap berukuran besar dan berundak dua. Menurut pengakuan Baco Daeng Nyarrang, warga asli Somba Opu, di tempat tersebut dikuburkan Karaeng Maccini Sombala, tokoh yang disegani sekaligus menjadi teladan warga Kerajaan Gowa dahulu kala. Pria kelahiran 1942 ini juga menceritakan kegigihan Maccini Sombala dalam perjuangannya melawan penjajah Belanda di masa-masa awal kolonisasi. Kisah ini ia ungkapkan berdasarkan cerita turun temurun keluarganya yang masih kerabat dekat Karaeng Maccini Sombala. “Sekarang adik saya yang jadi juru kunci makam itu, setelah saya pensiun karena usia yang tidak memungkinkan”, ungkap pria yang kini
berprofesi sebagai penyedia jasa Becak Motor di seputaran kompleks.
Setiap bulan Agustus warga asli di kawasan Somba Opu mengadakan semacam ritual untuk mengenang kegigihan Karaeng Maccini Sombala, biasanya dalam bentuk ziarah kubur, makan bersama dan adu ayam jantan di sekitar lokasi makam. “Orang-orang dari luar Somba Opu juga banyak pada saat ritual dilakukan, katanya banyak barakka’na (berkahnya) kalo ikut berziarah”, aku Daeng Nyarrang sambil menenangkan cucunya yang sedang menangis. Tidak hanya di bulan Agustus, di hari-hari lain pun banyak pengunjung yang datang berziarah di makam Karaeng Maccini Sombala. Konon, ketika berziarah dan berdoa di makam tersebut, doa yang dipanjatkan
kemungkinan besar akan dikabulkan. “Dulu ada seorang cina keturunan yang berasal dari Pangkep datang dan memanjatkan doa, kemudian doanya dikabulkan akhirnya ia membangun rumah berdinding tembok sebagai pelindung makam”, kenang Daeng Ngemba.
Namun sebelum Karaeng Maccini Sombala gugur dan dimakam di situ, sebuah masjid kerajaan pernah berdiri di lokasi tersebut. Hal ini dituturkan oleh Staf UPTD Pengelola Benteng Somba Opu, Yusuf Husain. Lebih lanjut bapak bertutur santun ini melanjutkan, pengembangan dan revitalisasi Benteng Somba Opu digagas dan dimulai di era Pemerintahan Gubernur Ahmad Amiruddin (1983-1993). Sosok yang dikenal cerdas ini membagi tiga kawasan besar Makassar dan sekitarnya:
Pusat niaga di Kota Makassar sendiri; Pusat Industri di Kawasan Kima (sekitar Maros), dan Pusat Budaya dan Sejarah di kawasan Benteng Somba Opu (Gowa) –sepanjang pesisir pantai hingga menyentuh di area Fort Rotterdam. Tidak tanggung-tanggung, Gubernur Amiruddin mematok luas kawasan Benteng Somba Opu sebanyak 300 ha. Tapi sayang, gagasan besarnya ini belum sempat rampung hingga beliau mengakhiri jabatannya. Kawasan Benteng Somba Opu hanya sebesar 150 ha. “Kalau luas kawasan benteng bisa mencapai 300 ha ketika itu, maka cakupan luas kawasan ini sampai di Akkarena, tempat permandian milik GMTD sekarang,” ungkap Yusuf serius.
Di bawah pengawasan dan pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, kawasan Benteng Somba Opu kini berkembang menjadi objek wisata yang layak dikunjungi oleh wisatawan lokal dan asing. Selain panorama yang memikat oleh kehadiran banyak objek menarik, kawasan ini pun menawarkan rekaman sejarah perjuangan Kerajaan Gowa dalam melawan penjajah, yang bisa dinikmati melalui museum dan beberapa objek yang masih tersisa di kawasan ini. Selain itu, panorama alamnya masih lumayan asli dan asri. Ratusan pohon berukuran
‘raksasa’ dan Pohon Lontara dapat pengunjung temui setiap melempar pandangan. Seminggu pengunjung bisa mencapai 500 orang, termasuk para turis asing. Mereka kebanyakan dari negara Austria, Belanda, Inggris, dan Jepang.
“Turis Jepang senang sekali dengan panorama Benteng Somba Opu. Masih asli katanya. Karena senangnya, mereka minta bermalam di Museum Pattingaloang,” kata Yusuf. “Tapi, maaf tidak bisa, silakan tuan kembali ke hotel,” lanjut Yusuf, mengurai ceritanya dengan tertawa.
Kawasan Benteng Somba Opu sangat berpotensi dikembangkan. Kekayaan sejarah dan lokasinya yang strategis menjadi kekuatan tersendiri. Kekuatan ini ternyata terbaca oleh H Zainal Thayeb, putra
Mandar yang sukses sebagai pengusaha bidang pariwisata di Bali. Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Bali ini, Mei 2010 lalu telah menyatakan kesiapannya untuk mengelola Kawasan Benteng Somba Opu. Beliau merencanakan akan membangun taman burung seluas 6 ha, dan wisata outbound seluas 14 ha.
“Ini sangat menguntungkan kedua belah pihak. Luas Benteng Somba Opu 7 ha, sementara luas kawasannya sebesar 150 ha. Masih banyak lahan tidur yang bisa dikembangkan, asal tidak merusak dan mengganggu keberadaan situs benteng,” urai Yusuf bersemangat. “Tidak cuma itu, pengusaha itu juga tengah menjajaki membangun hotel bertingkat yang menghadap ke laut,” tambahnya cepat.
Belum lagi panorama Sungai Jeneberang nan eksotik, sangat sayang dilewatkan bagi mereka yang mengaku penikmat keindahan. Rumput hijau bak karpet Persia terhampar begitu saja di sisi-sisi sungai. Menurut penuturan sejarah, sungai yang terletak di Selatan benteng ini adalah urat nadi perdagangan di saat Makassar menjadi salah satu Bandar terpenting di dunia. Perahu-perahu ukuran sedang dan kecil hilir mudik, mengangkut orang dan barang dari kapal-kapal besar yang tertambat di laut lepas, di depan Benteng Somba Opu. Sangat ramai. Kota Makassar yang berpusat di Benteng Somba Opu ketika itu adalah salah satu kota bertaraf dunia –selain terpenting juga terpadat penduduknya. Berdiri di sisi sungai, Anda bisa membayangkan masa-masa pertengahan abad 16 –kesibukan para pedagang, ramainya perahu dan kapal-kapal besar yang merapat, hingga dahsyatnya peperangan Makassar yang dipimpin Sultan Hasanuddin- dengan cara Anda sendiri.
Benteng Somba Opu dibangun oleh Sultan Gowa ke-IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapa‘risi‘ Kallonna pada tahun 1525. Pada tanggal 22 Juni 1669, benteng ini dikuasai VOC dan dihancurkan hingga terendam oleh ombak pasang.
Benteng Somba Opu yang terletak di Jalan Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa ini, berjarak kurang lebih 7 kilometer sebelah Selatan pusat Kota Makassar. Kawasan ini dapat diakses dari pusat Kota Makassar (Lapangan Karebosi) dengan angkutan kota (petepete) atau taksi. Jika menggunakan angkutan kota, dari Lapangan Karebosi menumpang angkutan kota jurusan Cenderawasih. Dari Jalan Cenderawasih berganti angkutan menuju Benteng Somba Opu. [V]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar