Selasa, 20 Desember 2011

Benteng Vredeburg di DI Yogyakarta



Pintu masuk ke Benteng Vredeburg.
Museum Benteng Vredeburg adalah sebuah benteng yang dibangun tahun 1765 oleh VOC di Yogyakarta selama masa kolonial VOC. Gedung bersejarah ini terletak di depan Gedung Agung (satu dari tujuh istana kepresidenan di Indonesia) dan Istana Sultan Yogyakarta Hadiningrat yang dinamakan Kraton. Benteng ini dibangun oleh VOC sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan gubernur Belanda kala itu. Benteng ini dikelilingi oleh sebuah parit yang masih bisa terlihat sampai sekarang.
Benteng berbentuk persegi ini mempunyai menara pantau di keempat sudutnya. Di masa lalu, tentara VOC dan juga Belanda sering berpatroli mengelilingi dindingnya.
Sekarang, benteng ini menjadi sebuah museum. Di sejumlah bangunan di dalam benteng ini terdapat diorama mengenai sejarah Indonesia.

Sejarah 

Masa Belanda

Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berrhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu. Nama Perjanjian Giyanti, karena traktat tersebut disepakati di Desa Giyanti, suatu desa yang terletak di dekat Surakarta.
Perjanjian yang berhasil dikeluarkan karena campur tangan VOC selalu mempunyai tujuan akhir memecah belah dan mengadu domba pihak-pihak yang bersangkutan. Demikian pula dengan perjanjian Giyanti. Orang Belanda yang berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti tersebut adalah Nicolaas Harting, yang menjabat Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouverneur en Directeur van Java’s noordkust) sejak bulan Maret 1754.
Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Untuk selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Adul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatulah I. Sedang Kasunanan Surakarta diperintah oleh Paku Buwono III.
Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah segera memerintahkan membangun kraton. Dengan titahnya Sultan segera memerintahkan membuka hutan Beringan yang terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan Hamengku Buwono I mengumumkan bahwa wilyah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat (Ngayogyakarta Hadiningrat) dengan ibukota Ngayogyakarta. Pemilihan nama ini dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah yaitu Hutan Beringan yang pada j=zaman almarhum Sri Susuhunan Amangkurat Jawi (Amangkurat IV) merupakan kota kecil yang indah. Di dalamnya terdapat istana pesanggrahan yang terkenal dengan Garjitowati. Kemudian pada zaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Pada masa itu dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri.
Hutan kecil ini mula-mula adalah tempat peristirahatan Sunan Pakubuwono II dengan nama Pesanggrahan Garjitowati. Untuk selanjutnya beliau menggantinya dengan nama Ayogya (atau Ngayogya). Nama Ngayogyakarta ditafsirkan dari kata “Ayuda” dan kata “Karta”. Kata “a” berarti tidak dan “yuda” berarti perang. Jadi “Ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tentram. Jadi Ngayogyakarta dapat diartikan sebagai “ Kota yang aman dan tenteram”.
Disamping sebagai seorang panglima perang yang tangguh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah pula seorang ahli bangunan yang hebat. Kraton Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang Gamping, kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 meski belum selesai dengan sempurna, Sultan dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di saat raja dan keluarganya menempati kraton ditandai dengan candra sangkala “Dwi Naga Rasa Tunggal”. Dalam tahun jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1756.
Setelah kraton mulai ditempati kemudian segera disusul berdiri pula bangunan-bangunan pendukung lainnya. Kraton dikelilingi tembok yang tebal. Di dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1756. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1761 dan 1762. Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikianlah kraton Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu.
Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Sehingga pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng stragi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi “kekuatan” yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin Belanda untuk membangun benteng, dikabulkan. Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang (Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh Sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).
Menurut penuturan Nicolas Harting seorang Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa di Semarang, bahwa benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap ilalang.Dalam perkembangan selanjutnya sewaktu W.H. Ossenberch menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, tahun 1765 mengusulkan kepada Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan dibawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak. Tahun 1767 pembangunan benteng dimulai. Menurut rencana pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun itu juga. Akan tetapi dalam kenyataannya proses pembangunan tersebut berjalan sangat lambat dan baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut Sultan yang bersedia mengadakan bahan dan tenaga dalam pembangunan benteng, sedang disibukkan dengan pembangunan Kraton Yogyakarta, sehingga bahan dan tenaga yang dijanjikan lebih banyak teralokasi dalam pembangun kraton. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Rustenburg yang berarti “Benteng Peristirahatan”.
Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merobohkan beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (yang dibangun tahun 1824), Tugu Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan yang lain. Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti “Benteng Perdamaian”. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.
Bentuk benteng tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagaan yang disebut “seleka” atau “bastion”. Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan para medis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.Sejalan dengan perkembangan politik yang berjadi di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg. Secara kronologis perkembangan status tanah dan bangunan Benteng Vredeburg sejak awal dibangunnya (1760) sampai dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda (1942) adalah sebagai berikut :

Tahun 1760 – 1765

Pada awal pembangunannya tahun 1760 status tanah merupakan milik kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC) dibawah pengawasan Nicolaas Harting, Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa.

Tahun 1765 – 1788

Secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan tetapi secara de facto penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda. Usul Gubernur W.H. Van Ossenberg (pengganti Nicolaas Hartingh) agar bangunan benteng lebih disempurnakan, dilaksanakan tahun 1767. Periode ini merupakan periode penyempurnaan Benteng yang lebih terarah pada satu bentuk benteng pertahanan.

Tahun 1788 – 1799

Pada periode ini status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, secara de facto dikuasai Belanda. Periode ini merupakan saat digunakannya benteng secara sempurna oleh Belanda (VOC). Bangkrutnya VOC tahun 1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda). Sehingga secara de facto menjadi milik pemerintah kerajaan Belanda.

Tahun 1799 – 1807

Status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, tetapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Bataafsche Republik (Pemerintah Belanda) di bawah Gubernur Van Den Burg. Benteng tetap difungsikan sebagai markas pertahanan.

Tahun 1807 – 1811

Pada periode ini benteng diambil alih pengelolaannya oleh Koninklijk Holland. Maka secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto menjadi milik Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah Gubernur Daendels.

Tahun 1811 – 1816

Ketika Inggris berkuasa di Indonesia 1811 – 1816, untuk sementara benteng dikuasai Inggris dibawah Gubernur Jenderal Rafles. Namun dalam waktu singkat Belanda dapat mengambil alih. Secara yuridis formal benteng tetap milik kasultanan.

Tahun 1816 – 1942

Status tanah benteng tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena kuatnya pengaruh Belanda maka pihak kasultanan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi masalah penguasaan atas benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala Tentara Jepang tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang dengan ditandai dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat.

Masa Jepang

Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang, membuat kedudukan pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda terancam. Ketika akan menyerang Indonesia, Jepang lebih dulu menguasai daerah-daerah penghasil minyak bumi di Kalimantan Timur seperti Tarakan, Pulau Bunyu dan Balikpapan. Penguasaan daerah tersebut sangat penting untuk mendukung kepentingan perang pasukan Jepang di kawasan Pasifik. Setelah Kalimantan, Jepang kemudian menyerang Sumatera yaitu Dumai, Pakan Baru dan Palembang. Terakhir baru Jepang menyerang Pulau Jawa dengan mendaratkan pasukannya di Banten, Indramayu dan Banyuwangi. Dalam waktu singkat berhasil menduduki tempat strategis di Pulau Jawa. Hingga akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang di Kalijati, Jawa Barat. Maka sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia.

Masa pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsung sejak tanggal 6 Maret 1942. Mereka segera menempati gedung-gedung pemerintah yang semula ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas kota Yogyakarta berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan. Dengan semboyan Tiga A (Nipon Cahaya Asia, Nipon Pemimpin Asia dan Nipon Pelindung Asia), mereka melakukan pawai dengan jalan kaki dan bersepeda bergerak menuju pusat kota Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati rakyat Yogyakarta.

Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga di pusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam.
Disamping itu benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan menentang Jepang.

Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan terlebih dulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin. Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah disaat terjadi perang secara mendadak.

Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan. Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang tetapi secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.

Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) bangunan benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.

Masa Kemerdekaan

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 telah berkumandang di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita tersebut sampai ke Yogyakarta melalui Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta (sekarang Perpustakaan Daerah, Jl. Malioboro Yogyakarta). Kepala kantor berita Domei Cabang Yogyakarta waktu itu adalah orang Jepang. Sedangkan kepala bagian radio adalah Warsono, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga lainnya, yaitu Soeparto, Soetjipto, Abdullah dan Umar Sanusi.
Pada siang hari itu, berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan keluarnya Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Pernyataan 5 September 1945) yang kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas berdirinya negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat semakin berapi-api.

Sebagai akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata Jepang. Masih kuatnya pasukan Jepang yang berada di Yogyakarta, menyebabkan terjadinya kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Dalam aksi perampasan gedung ataupun vasilitas lain milik Jepang, benteng Vredeburg juga menjadi salah satu sasaran aksi. Setelah Benteng dikuasai oleh pihak RI untuk selanjutnya penanganannya diserahkan kepada Instansi Militer yang kemudian dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam pasukan dengan kode Staf “Q” dibawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang bertugas mengurusi perbekalan militer. Sehingga tidak mustahil bila pada periode ini Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai markas juga sebagai gudang perbekalan termasuk senjata, mesiu dll. Pada tahun 1946 di dalam komplek Benteng Vredeburg didirikan Rumah Sakit Tentara untuk melayani korban pertempuran. Namun dalam perkembangannya rumah sakit tersebut juga melayani tentara beserta keluarganya.

Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan disaat perbedaan persepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi, maka meletuslah peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu percobaan Kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap. Sebagai tahanan politik mereka pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg.

Pada masa Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) Benteng Vredeburg yang waktu itu dijadikan markas militer RI menjadi sasaran pengeboman pesawat-pesawat Belanda. Kantor TKR yang berada di dalamnya hancur. Setelah menguasai lapangan terbang Maguwo, tentara Belanda yang tergabung dalam Brigade T pimpinan Kolonel Van Langen berhasil menguasai kota Yogyakarta, termasuk Benteng Vredeburg. Selanjutnya Benteng Vredeburg dipergunakan sebagai markas tentara Belanda yang tergabung dalam IVG (Informatie Voor Geheimen), yaitu dinas rahasia tentara Belanda. Disamping itu Benteng Vredeburg juga difungsikan sebagai asrama prajurit Belanda dan juga dipakai untuk menyimpan senjata berat seperti tank, panser dan kendaraan militer lainnya.

Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI bersama dengan TNI masih ada, Benteng Vredeburg menjadi salah satu sasaran di antara bangunan-bangunan lain yang dikuasai Belanda seperti Kantor Pos, Stasiun Kereta Api, Hotel Toegoe, Gedung Agung, dan Tangsi Kotabaru. Kurang lebih 6 (enam) jam kota Yogyakarta dapat dikuasai oleh TNI beserta rakyat pejuang. Baru setelah bala bantuan Tentara Belanda yang didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta, TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan melakukan perjuangan gerilya.

Meski mampu menduduki kota Yogyakarta hanya sekitar 6 jam, namun secara politis serangan tersebut mempunyai arti yang luar biasa. Kebohongan Belanda yang selama ini ditutup-tutupi akhirnya terbongkar, dan terbukalah mata dunia internasional. Sehingga berawal dari persetujuan Roem – Royen (7 Mei 1949), akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda terpaksa mengakui Kedaulatan RIS setelah sebelumnya harus melalui proses yang panjang di KMB (Koferensi Meja Bundar) yang berlangsung pada tanggal 23 Agustus – 2 Nopember 1949. Proses itu tidak dapat dipisahkan dengan peran besar pemancar radio gerilya di Banaran, Playen, Gunung Kidul, yaitu Radio AURI PC-2.

Setelah Belanda meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Kemudian pengelolaan benteng diserahkan kepada Militer Akademi Yogyakarta. Pada waktu itu Ki Hadjar Dewantara pernah mengemukakan gagasannya agar Benteng Vredeburg dimanfaatkan sebagai ajang kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu terhenti karena terjadi peristiwa “Tragedi Nasional” Pemberontakan G 30 S / PKI tahun 1965. Waktu itu untuk sementara Benteng Vredeburg digunakan sebagai tempat tahanan politik terkait dengan peristiwa G 30 S / PKI yang langsung berada dibawah pengawasan HANKAM.

Rencana pelestarian bangunan Benteng Vredeburg mulai lebih terlihat nyata setelah tahun 1976 diadakan studi kelayakan bangunan benteng yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah diadakan penelitian maka usaha kearah pemugaran bangunan bekas Benteng Vredeburg pun segera dimulai.

Tanggal 9 Agustus 1980 dilakukan penandatanganan piagam perjanjian antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pihak I dan Dr. Daud Jusuf (Mendikbud) sebagai pihak II tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg. Dengan pertimbangan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg tersebut merupakan bangunan bersejarah yang sangat besar artinya maka pada tahun 1981 bangunan bekas Benteng Vredeburg di tetapkan sebagai benda cagar budaya berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981. Tentang pemanfaatan bangunan Benteng Vredeburg, dipertegas lagi oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Mendikbud RI) tanggal 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai museum Perjuangan Nasional yang pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Sesuai dengan Piagam Perjanjian serta surat Sri Sultan Hamengku Buwono IX Nomor 359/HB/85 tanggal 16 April 1985 menyebutkan bahwa perubahan-perubahan tata ruang bagi gedung-gedung di dalam komplek benteng Vredeburg diijinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum. Untuk selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan bekas benteng dan kemudian dijadikan museum. Tahun 1987 museum telah dapat dikunjungi oleh umum. Pada tanggal 23 November 1992 bangunan bekas Benteng Vredeburg secara resmi menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (ketika itu Prof. Dr. Fuad Hasan) Nomor 0475/O/1992 dengan nama Museum Benteng Yogyakarta.
Selanjutnya Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mempunyai Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi yaitu sebagai museum khusus merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala yang bertugas melaksanakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan memberikan bimbingan edukatif cultural mengenai benda dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia di wilayah Yogyakarta.
Secara kronologis perkembangan status tanah dan pemanfaatan benteng Vredeburg sejak Proklamasi Kemerdekaan (1945) sampai dengan dimanfaatkan sebagai museum khusus sejarah perjuangan sebagai berikut :

Tahun 1945 – 1977

Status tanah benteng masih tetap milik kasultanan Yogyakarta. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan RI tahun 1945, benteng diambil alih oleh instansi militer RI. Tahun 1948 benteng sempat sementara diambil alih oleh Belanda pada waktu agresi militernya yang kedua (19 Desember 1948). Waktu Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk sesaat TNI berhasil menguasai daerah sekitar Benteng Vredeburg. Tetapi tidak lama kemudian berhasil dikuasai kembali oleh Belanda sampai dengan Penarikan Belanda dari Yogyakarta sebagai hasil persetujuan Roem-Royen (7 Mei 1949). Selanjutnya Benteng Vredeburg dibawah pengelolaan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).

Tahun 1977 – 1992

Dalam periode ini status penguasaan dan pengelolaan benteng pernah diserahkan dari pihak HANKAM kepada Pemerintah Daerah Yogyakarta. Tanggal 9 Agustus 1980 diadakan penandatanganan piagam perjanjian tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg oleh Sri Sultan HB IX (pihak I) dan Mendibud Dr. Daud Jusuf (pihak II). Kemudian dikuatkan dengan pernyataan Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto tanggal 5 November 1984, bahwa bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai sebuah museum. Tahun 1985 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengijinkan diadakannya perubahan bangunan sesuai dengan kebutuhannya. Tahun 1987 museum dapat dikunjungi oleh umum.
Pada periode ini Benteng Vredeburg pernah dipergunakan sebagai ajang Jambore Seni (26 – 28 Agustus 1978), Pendidikan dan latihan Dodiklat POLRI. Juga pernah dipergunakan sebagai markas Garnizun 072 serta markas TNI AD Batalyon 403. Meski demikian secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.

Tahun 1992 sampai sekarang

Melalui Surat Keputusan Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hasan nomor 0475/O/1992 tanggal 23 November 1992 secara resmi Benteng Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Yogyakarta. Untuk meningkatkan fungsionalisasi museum ini maka mulai tanggal 5 September 1997 mendapat limpahan untuk mengelola Museum Perjuangan Yogyakarta di Brontokusuman Yogyakarta, dari Museum Negeri Propinsi DIY Sonobudoyo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala.

Benteng Belgica di Pulau Neira Maluku

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Pulau Banda Besar dilihat dari benteng Belgica

Benteng Belgica pada awalnya adalah sebuah benteng yang dibangun oleh bangsa Portugis pada abad 16 di Pulau Neira, Maluku. Lama setelah itu, di lokasi benteng Portugis tersebut kemudian dibangun kembali sebuah benteng oleh VOC atas perintah Gubernur Jendral Pieter Both pada tanggal 4 September 1611. Benteng tersebut kemudian diberi nama Fort Belgica, sehingga pada saat itu, terdapat dua buah benteng di Pulau Neira yaitu; Benteng Belgica dan Benteng Nassau. Benteng ini dibangun dengan tujuan untuk menghadapi perlawanan masyarakat Banda yang menentang monopoli perdagangan pala oleh VOC.
Pada tanggal 9 Agustus 1662, benteng ini selesai diperbaiki dan diperbesar sehingga mampu menampung 30 – 40 serdadu yang bertugas untuk menjaga benteng tersebut.
Kemudian pada tahun 1669, benteng yang telah diperbaiki tersebut dirobohkan, dan sebagian bahan bangunannya digunakan untuk membangun kembali sebuah benteng di lokasi yang sama. Pembangunan kali ini dilaksanakan atas perintah Cornelis Speelman. Seorang insinyur bernama Adriaan Leeuw ditugaskan untuk merancang dan mengawasi pembangunan benteng yang menelan biaya sangat besar ini. Selain menelan biaya yang sangat besar (309.802,15 Gulden), perbaikan kali ini juga memakan waktu yang lama untuk meratakan bukit guna membuat pondasi benteng yaitu sekitar 19 bulan. Biaya yang besar tersebut juga disebabkan karena banyak yang dikorupsi oleh mereka yang terlibat dalam perbaikan benteng ini. Akhirnya benteng ini selesai pada tahun 1672.
Sepuluh tahun kemudian komisaris Robertus Padbrugge ditugaskan untuk memeriksa pembukuan pekerjaan tersebut, tetapi ia tidak berhasil dalam tugasnya tersebut. Hal ini dikarenakan banyak tuan tanah yang beranggapan bahwa biaya tersebut tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan hasilnya, sebuah benteng yang hebat dan mengagumkan. Karena hal tersebut, Padbrugge menghentikan penyelidikannya.
Walaupun benteng tersebut dikatakan sangat hebat dan mengagumkan, tetapi masalah bagaimana untuk mencukupi kebutuhan air dalam benteng masih juga belum terpecahkan. Setelah menimbang-nimbang apakah akan menggali sebuah sumur atau membuat sebuah bak penampungan air yang besar atau membuat empat buah bak penampungan air yang lebih kecil, akhirnya diputuskan untuk menggali sebuah sumur di dekat benteng dan menghubungkannya dengan sebuah bak penampung air berbentuk oval yang dibuat ditengah halaman dalam benteng.
Pada tahun 1795, benteng ini dipugar oleh Francois van Boeckholtz—Gubernur Banda yang terakhir. Pemugaran ini dilaksanakan juga di beberapa benteng-benteng lain sebagai persiapan untuk menghadapi serangan Inggris. Satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 8 Maret 1796, benteng Belgica diserang dan berhasil direbut oleh pasukan Inggris. Dengan jatuhnya benteng ini, Inggris dengan mudah dapat menguasai Banda. Pada tahun 1803 dilaporkan, setiap kali ada satu kapal yang berlabuh, diadakan upacara band militer setiap jam 5 pagi dan jam 8 malam di benteng Belgica dan Nassau. Setiap hari Kamis dan Senin dilakukan pawai militer pada jam 6.30 pagi. Pergantian jaga dilakukan setiap pagi, siang dan malam pada kedua benteng tersebut, sehingga hampir setiap jam masyarakat yang tinggal dekat kedua benteng tersebut dapat melihat parade militer dan mendengarkan musik dari band militer. Benteng Belgica telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.

Benteng Vastenburg di Surakarta


 
Benteng Vastenburg 1910
Benteng Vastenburg adalah benteng peninggalan Belanda yang terletak di kawasan Gladak, Surakarta. Benteng ini dibangun tahun 1745 atas perintah Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff. Sebagai bagian dari pengawasan Belanda terhadap penguasa Surakarta, benteng ini dibangun, sekaligus sebagai pusat garnisun. Di seberangnya terletak kediaman gubernur Belanda (sekarang kantor Balaikota Surakarta) di kawasan Gladak.
Bentuk tembok benteng berupa bujur sangkar yang ujung-ujungnya terdapat penonjolan ruang yang disebut seleka (bastion). Di sekeliling tembok benteng terdapat parit yang berfungsi sebagai perlindungan dengan jembatan di pintu depan dan belakang. Bangunan terdiri dari beberapa barak yang terpisah dengan fungsi masing-masing dalam militer. Di tengahnya terdapat lahan terbuka untuk persiapan pasukan atau apel bendera.
Setelah kemerdekaan, benteng ini digunakan sebagai markas TNI untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada masa 1970-1980-an bangunan ini digunakan sebagai tempat pelatihan keprajuritan dan pusat Brigade Infanteri 6/Trisakti Baladaya Kostrad untuk wilayah Karesidenan Surakarta dan sekitarnya.


Benteng Fort de Kock di Bukittinggi Sumatera Barat




Tetenger di tempat berdirinya Fort de Kock
Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Fort de Kock juga nama lama Bukittinggi.
Benteng ini dibangun semasa Perang Paderi pada tahun 1825 oleh Kapten Bauer di atas Bukit Jirek dan awalnya dinamai Sterrenschans. Kemudian, namanya diubah menjadi Fort de Kock, menurut Hendrik Merkus de Kock, tokoh militer Belanda.
Di tahun-tahun selanjutnya, di sekitar benteng ini tumbuh sebuah kota yang juga bernama Fort de Kock, kini Bukittinggi.

Keadaan sekarang

Hingga saat ini, Benteng Fort de Kock masih ada sebagai bangunan bercat putih-hijau setinggi 20 m. Benteng Fort de Kock dilengkapi dengan meriam kecil di keempat sudutnya. Kawasan sekitar benteng sudah dipugar oleh pemerintah daerah menjadi sebuah taman dengan banyak pepohonan rindang dan mainan anak-anak.
Benteng ini berada di lokasi yang sama dengan Kebun Binatang Bukittinggi dan Museum Rumah Adat Baanjuang. Kawasan benteng terletak di bukit sebelah kiri pintu masuk sedangkan kawasan kebun binatang dan museum berbentuk rumah gadang tersebut berada di bukit sebelah kanan. Keduanya dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh yang di bawahnya adalah jalan raya dalam kota Bukit Tinggi. Kawasan ini hanya terletak 1 km dari pusat kota Bukittinggi di kawasan Jam Gadang, tepatnya di terusan jalan Tuanku nan Renceh. benteng ini adalah satu dari 2 benteng belanda yang ada di sumatera barat , yang satu lagi terletak di Batusangkar dengan nama benteng Fort Van der Capellen karna 2 kota inilah dahulu yang paling susah ditaklukan belanda saat peran paderi

Benteng Somba Opu


Ukurannya tak begitu besar jika dibandingkan dengan jenis jembatan lain yang sering ditemui di Kota Makassar. Jembatan yang membentang di atas Sungai Jeneberang ini, memberikan kemudahan akses manusia dan barang dari dan menuju kompleks Benteng Somba Opu menuju akses jalan utama Jalan Daeng Tata, Kota Makassar. Di ujung jembatan yang berada di ambang kompleks Benteng Somba Opu Anda akan disambut dengan sebuah gapura tua yang tampak lapuk. Pada gapura tersebut terpampang jelas papan yang bertuliskan “Selamat Datang di Kawasan Benteng Somba Opu”.

Gerbang utama 
Benteng Somba Opu. Yang tersisa, yang berdiri kokoh. Dulu tinggi tembok 
benteng mencapai 7 meter. Setiap gerbang memiliki kubah. (Ariane Mays. 
21 Agustus 2010)
Gerbang utama Benteng Somba Opu. Yang tersisa, yang berdiri kokoh. Dulu tinggi tembok benteng mencapai 7 meter. Setiap gerbang memiliki kubah. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)


 
 Siluet Benteng Somba Opu. 
Pusat Kota Makassar 
tempo dulu. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Siluet Benteng Somba Opu. Pusat Kota Makassar tempo dulu. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Tidak seperti ketika Anda mengunjungi benteng lain yang masih utuh bangunan fisiknya layaknya Fort Rotterdam, di kompleks Benteng Somba Opu Anda hanya akan menemukan beberapa baris arsiran tembok yang tersisa dan tak utuh seluruhnya seperti di masa jayanya dulu yang berupa benteng yang sepenuhnya tertutup dengan satu atau beberapa gerbang sebagai akses untuk keluar dan masuk dalam lokasi benteng. Pertempuran hebat antara Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin dan penjajah Hindia Belanda pada 1666-1669, mengakibatkan kerusakan serius pada dinding benteng sehingga yang hanya bisa kita saksikan hari ini hanya beberapa bagian yang tersisa. Pada sisi barat kompleks, masih tampak dinding benteng yang membentang sepanjang ±198 m2 dengan tebal dinding hingga 12 kaki atau 3,6 meter, namun dinding ini tak sepenuhnya tersusun oleh batu padas tetapi dibagian tengahnya terisi oleh tanah gembur yang kini di atasnya ditumbuhi rumput hijau.

Jembatan selamat datang. (Ariane Mays. 21 
Agustus 2010)
Jembatan selamat datang. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Sebelum sampai di lokasi sisa reruntuhan benteng, Anda akan disuguhkan pemandangan menarik barisan rumah-rumah adat dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Jalanan aspal yang kadang diselingi jalanan yang dibalut paving block akan membawa Anda bertamasya ke berbagai daerah dalam khasanah Makassar-Bugis seperti tampak pada wilayah yang berada di sisi timur kompleks, berdiri beberapa rumah adat khas Kabupaten Maros, Selayar, Jeneponto, Takalar dan lain-lain. Pemandangan itu kian genap oleh kehadiran beberapa objek menarik seperti Kompleks Pasar Seni, Baruga Somba Opu, Museum Karaeng Pattingaloang dan Masjid Ussisa Alattaqwa, yang sesekali diselingi hamparan sawah, pemukiman warga dan barisan pohon berukuran besar yang memberikan kesejukan di tengah teriknya matahari.
Dulu ada seorang  cina keturunan yang berasal dari Pangkep datang dan memanjatkan doa, kemudian doanya dikabulkan akhirnya ia membangun rumah berdinding tembok sebagai pelindung makam

Lansekap benteng. Rindang dan sejuk. (Ariane Mays. 21 
Agustus 
2010)
Lansekap benteng. Rindang dan sejuk. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Jika belum merasa puas, Anda bisa berkeliling di seputaran kompleks Benteng Somba Opu dan mengunjung beberapa rumah adat yang terletak terpisah dari rumah-rumah adat lainnya seperti rumah adat Toraja, Sengkang, Gowa dan Makassar.

Sejatinya, Benteng Somba Opu sekarang ini adalah sisa reruntuhan dengan beberapa dinding yang masih kokoh berdiri. Bentuk benteng ini pun belum diketahui secara persis meski upaya ekskavasi terus dilakukan. Tetapi menurut peta yang tersimpan di Museum Makassar, bentuk benteng ini segi empat. Di akhir tahun 1980-an, Benteng Somba Opu ‘ditemukan kembali’ oleh sekelompok ilmuan. Baru pada tahun 1990 puing-puing tembok benteng diekskavasi dan sebagian lagi direkonstruksi.

sangat rapi dan kuat. 
Direkatkan oleh campuran putih telur. 
(Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
sangat rapi dan kuat. Direkatkan oleh campuran putih telur. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Ada tiga bastion yang masih terlihat sisa-sisanya, yaitu bastion di sebelah barat daya, bastion tengah, dan bastion barat laut. Yang terakhir ini disebut Buluwara Agung. Di bastion inilah ditempatkan sebuah meriam paling dahsyat yang dimiliki orang Indonesia: Meriam Anak Makassar. Bobotnya 9.500 kg, panjang 6 meter, dan diameter 4,14 cm.

Sesuai model yang tercetak pada peta dokumen di Museum Makassar, benteng ini berbentuk segi empat dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang 2 kilometer dari barat ke timur. Ketinggian dinding benteng yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tetapi dulu, tinggi dinding sebenarnya adalah antara 7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter. Lorong-lorongnya pun tertutup bak kubah setengah lingkaran.
Bastion yang masih utuh. Tempat makam Karaeng Maccini Sombala. 
Sebelumnya adalah masjid kerajaan. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Bastion yang masih utuh. Tempat makam Karaeng Maccini Sombala. Sebelumnya adalah masjid kerajaan. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)

Pada tahun 1991,  kawasan benteng dibuat menjadi Open Air Museum dengan membangun tambahan rumah-rumah adat yang mewakili semua suku bangsa Sulawesi Selatan, menjadikan tempat ini sebagai area terbuka bagi ilmuan dan seniman melakukan penelitian dan berkarya di situ. 

“Rumah-rumah adat ini dibangun tahun 1991 oleh pemerintah bersamaan dengan berakhirnya proses ekskavasi yang pertama pada Benteng Somba Opu”, tutur Jampa Daeng Ngemba, warga asli yang masih tetap bertahan di kompleks Benteng Somba Opu bersama keluarganya. Ia juga menceritakan, semenjak pemerintah melakukan banyak pembangunan di dalam kawasan benteng, orang-orang dari luar mulai masuk dan ikut menetap dalam kawasan ini dan kini hidup tentram bersama warga asli di situ.

Baruga Somba Opu. Replika istana Kerajaan Gowa di jaman kejayaan 
Benteng Somba Opu.  Lokasinya persis disesuaikan dengan letak istana 
jaman dulu."Selalu ramai".  (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Baruga Somba Opu. Replika istana Kerajaan Gowa di jaman kejayaan Benteng Somba Opu. Lokasinya persis disesuaikan dengan letak istana jaman dulu."Selalu ramai". (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Ada yang menarik ketika memandang sisa reruntuhan dinding benteng yang terletak di sisi timur kompleks tadi. Pada titik pertemuan antara dua dinding benteng yang saling bersilangan, terdapat bangunan yang menyerupai rumah namun berukuran kecil yang dilindungi oleh atap berukuran besar dan berundak dua. Menurut pengakuan Baco Daeng Nyarrang, warga asli Somba Opu, di tempat tersebut dikuburkan Karaeng Maccini Sombala, tokoh yang disegani sekaligus menjadi teladan warga Kerajaan Gowa dahulu kala. Pria kelahiran 1942 ini juga menceritakan kegigihan Maccini Sombala dalam perjuangannya melawan penjajah Belanda di masa-masa awal kolonisasi. Kisah ini ia ungkapkan berdasarkan cerita turun temurun keluarganya yang masih kerabat dekat Karaeng Maccini Sombala. “Sekarang adik saya yang jadi juru kunci makam itu, setelah saya pensiun karena usia yang tidak memungkinkan”, ungkap pria yang kini
Meriam peninggalan perang Makassar. Disebut Meriam Subhana. Konon 
dapat diletuskan hanya dengan mantra khusus dan keyakinan. Dikenal juga 
sebagai Meriam Poloanga (Meriam melengkung yang terpotong). "sangat
 laki-laki". (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Meriam peninggalan perang Makassar. Disebut Meriam Subhana. Konon dapat diletuskan hanya dengan mantra khusus dan keyakinan. Dikenal juga sebagai Meriam Poloanga (Meriam melengkung yang terpotong). "sangat laki-laki". (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
berprofesi sebagai penyedia jasa Becak Motor di seputaran kompleks. 

Setiap bulan Agustus warga asli di kawasan Somba Opu mengadakan semacam ritual untuk mengenang kegigihan Karaeng Maccini Sombala, biasanya dalam bentuk ziarah kubur, makan bersama dan adu ayam jantan di sekitar lokasi makam. “Orang-orang dari luar Somba Opu juga banyak pada saat ritual dilakukan, katanya banyak barakka’na (berkahnya) kalo ikut berziarah”, aku Daeng Nyarrang sambil menenangkan cucunya yang sedang menangis. Tidak hanya di bulan Agustus, di hari-hari lain pun banyak pengunjung yang datang berziarah di makam Karaeng Maccini Sombala. Konon, ketika berziarah dan berdoa di makam tersebut, doa yang dipanjatkan
Panggung rakyat di area benteng. 
(Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Panggung rakyat di area benteng. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
kemungkinan besar akan dikabulkan. “Dulu ada seorang  cina keturunan yang berasal dari Pangkep datang dan memanjatkan doa, kemudian doanya dikabulkan akhirnya ia membangun rumah berdinding tembok sebagai pelindung makam”, kenang Daeng Ngemba.

Namun sebelum Karaeng Maccini Sombala gugur dan dimakam di situ, sebuah masjid kerajaan pernah berdiri di lokasi tersebut. Hal ini dituturkan oleh Staf UPTD Pengelola Benteng Somba Opu, Yusuf Husain. Lebih lanjut bapak bertutur santun ini melanjutkan, pengembangan dan revitalisasi Benteng Somba Opu digagas dan dimulai di era Pemerintahan Gubernur Ahmad Amiruddin (1983-1993). Sosok yang dikenal cerdas ini membagi tiga kawasan besar Makassar dan sekitarnya:
Salah satu rumah adat di sepanjang 
jalan menuju benteng. (Ariane 
Mays. 21 Agustus 2010)
Salah satu rumah adat di sepanjang jalan menuju benteng. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Pusat niaga di Kota Makassar sendiri; Pusat Industri di Kawasan Kima (sekitar Maros), dan Pusat Budaya dan Sejarah di kawasan Benteng Somba Opu (Gowa) –sepanjang pesisir pantai  hingga menyentuh di area Fort Rotterdam. Tidak tanggung-tanggung, Gubernur Amiruddin mematok luas kawasan Benteng Somba Opu sebanyak 300 ha. Tapi sayang, gagasan besarnya ini belum sempat rampung hingga beliau mengakhiri jabatannya. Kawasan Benteng Somba Opu hanya sebesar 150 ha.  “Kalau luas kawasan benteng bisa mencapai 300 ha ketika itu, maka cakupan luas kawasan ini sampai di Akkarena, tempat permandian milik GMTD sekarang,” ungkap Yusuf serius.

Sungai Jeneberang. Saksi sejarah. (Ariane Mays. 21 
Agustus 2010)
Sungai Jeneberang. Saksi sejarah. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Di bawah pengawasan dan pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, kawasan Benteng Somba Opu kini berkembang menjadi objek wisata yang layak dikunjungi oleh wisatawan lokal dan asing. Selain panorama yang memikat oleh kehadiran banyak objek menarik, kawasan ini pun menawarkan rekaman sejarah perjuangan Kerajaan Gowa dalam melawan penjajah, yang bisa dinikmati melalui museum dan beberapa objek yang masih tersisa di kawasan ini. Selain itu, panorama alamnya masih lumayan asli dan asri. Ratusan pohon berukuran
Bayangkan keramaian perahu yang hilir 
mudik di sini. (Ariane Mays.
 21 Agustus 2010)
Bayangkan keramaian perahu yang hilir mudik di sini. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
‘raksasa’ dan Pohon Lontara dapat pengunjung temui setiap melempar pandangan. Seminggu pengunjung bisa mencapai 500 orang, termasuk para turis asing. Mereka kebanyakan dari negara Austria, Belanda, Inggris, dan Jepang.

“Turis Jepang senang sekali dengan panorama Benteng Somba Opu. Masih asli katanya. Karena senangnya, mereka minta bermalam di Museum Pattingaloang,” kata Yusuf. “Tapi, maaf tidak bisa, silakan tuan kembali ke hotel,” lanjut Yusuf, mengurai ceritanya dengan tertawa.

Kawasan Benteng Somba Opu sangat berpotensi dikembangkan. Kekayaan sejarah dan lokasinya yang strategis menjadi kekuatan tersendiri. Kekuatan ini ternyata terbaca oleh H Zainal Thayeb, putra
Bastion tengah di
 muka benteng. Deretan rumah itu dulunya adalah 
laut lepas. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Bastion tengah di muka benteng. Deretan rumah itu dulunya adalah laut lepas. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Mandar yang sukses sebagai pengusaha bidang pariwisata di Bali. Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Bali ini, Mei 2010 lalu telah menyatakan kesiapannya untuk mengelola Kawasan Benteng Somba Opu. Beliau merencanakan akan membangun taman burung seluas 6 ha, dan wisata outbound seluas 14 ha.

“Ini sangat menguntungkan kedua belah pihak. Luas Benteng Somba Opu 7 ha, sementara luas kawasannya sebesar 150 ha. Masih banyak lahan tidur yang bisa dikembangkan, asal tidak merusak dan mengganggu keberadaan situs benteng,” urai Yusuf bersemangat. “Tidak cuma itu, pengusaha itu juga tengah menjajaki membangun hotel bertingkat yang menghadap ke laut,” tambahnya cepat. 

Yang tersisa, dan sepinya Sungai 
Jeneberang sekarang. (Ariane 
Mays. 21 Agustus 2010)
Yang tersisa, dan sepinya Sungai Jeneberang sekarang. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Belum lagi panorama Sungai Jeneberang nan eksotik, sangat sayang dilewatkan bagi mereka yang mengaku penikmat keindahan. Rumput hijau bak karpet Persia terhampar begitu saja di sisi-sisi sungai. Menurut penuturan sejarah, sungai yang terletak di Selatan benteng ini adalah urat nadi perdagangan di saat Makassar menjadi salah satu Bandar terpenting di dunia. Perahu-perahu ukuran sedang dan kecil hilir mudik, mengangkut orang dan barang dari kapal-kapal besar yang tertambat di laut lepas, di depan Benteng Somba Opu. Sangat ramai. Kota Makassar yang berpusat di Benteng Somba Opu ketika itu adalah salah satu kota bertaraf dunia –selain terpenting juga terpadat penduduknya. Berdiri di sisi sungai, Anda bisa membayangkan masa-masa pertengahan abad 16 –kesibukan para pedagang, ramainya perahu dan kapal-kapal besar yang merapat, hingga dahsyatnya peperangan Makassar yang dipimpin Sultan Hasanuddin- dengan cara Anda sendiri.    

Benteng Somba Opu dibangun oleh Sultan Gowa ke-IX,  Daeng Matanre Karaeng Tumapa‘risi‘ Kallonna pada tahun 1525. Pada tanggal 22 Juni 1669,  benteng ini dikuasai VOC dan dihancurkan hingga terendam oleh  ombak pasang.

Gerbang utama benteng. Dulunya
 setinggi 7 meter dan tertutup. 
(Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Gerbang utama benteng. Dulunya setinggi 7 meter dan tertutup. (Ariane Mays. 21 Agustus 2010)
Benteng Somba Opu yang terletak di Jalan Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa ini, berjarak kurang lebih 7 kilometer sebelah Selatan pusat Kota Makassar. Kawasan ini dapat diakses dari pusat Kota Makassar (Lapangan Karebosi) dengan angkutan kota (petepete) atau taksi. Jika menggunakan angkutan kota, dari Lapangan Karebosi menumpang angkutan kota jurusan Cenderawasih. Dari Jalan Cenderawasih berganti angkutan menuju Benteng Somba Opu. [V]

Benteng Marlborough di Bengkulu


 

Benteng Marlborough merupakan salah satu peninggalan sejarah bangsa Inggris di Bengkulu yang masih utuh dan dapat kita lihat serta kunjungi. Benteng ini dibangun pada tahun 1709 – 1719 setelah pembangunan benteng York oleh perusahaan dagang Inggris (East Indian Company) di bawah pimpinan gubernur Joseph Callet.
Benteng ini merupakan benteng tersebesar di bagian Timur Jauh setelah benteng George di Madras, India. Benteng ini dibangun menghadap kearah selatan dan meliputi areal sekitar 44.100 meter.
Tipe bangunan benteng adalah gaya bangunan abad ke 18 dengan model menyerupai kura-kura.
 

Lebar bangunan 120,5 meter dan panjang 180 meter. Bahan bangunan terbuat dari bata dari berbagai ukuran yang direkat dengan adukan semen, sedangkan lantai terdiri dari susunan bata dan semen.
Bagian luar benteng dikelilingi dengan kanal dan mempunyai pintu gerbang utama yang dihubungkan dengan jembatan. Bagian dalam bangunan juga terdapat pintu gerbang dan jembatan penghubung.
Benteng Malborough ini sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara maupun turis lokal karena di dalam benteng ini masih tersimpan rapi benda-benda peninggalan jaman Inggris.


Keindahan Benteng marlborough di Bengkulu

22 06 2010 Fort Marlborough adalah sebuah bangunan benteng pertahanan yang terletak di pesisir pantai Tapak Paderi – Kota Bengkulu. Benteng ini dibangun oleh kolonial Inggris pada tahun 1914 – 1719 dibawah pimpinan Gubernur Jendral Josef Colin semasa pendudukan mereka di Wilayah Bengkulu. Benteng Marlborough adalah benteng terbesar yang pernah dibangun oleh Bangsa Inggris semasa kolonialismenya di Asia Tenggara.
Konstruksi bangunan benteng Fort Marlborough ini memang sangat kental dengan corak arsitektur Inggris Abad ke-20 yang ‘megah’ dan ‘mapan’. Bentuk keseluruhan komplek bangunan benteng yang menyerupai penampang tubuh ‘kura-kura’ sangat mengesankan kekuatan dan kemegahan. Detail-detail bangunan yang European Taste menanamkan kesan keberadaan bangsa yang besar dan berjaya pada masa itu. Dari berbagai peninggalan yang masih terdapat di dalam bangunan benteng dapat pula diketahui bahwa pada masanya bangunan ini juga berfungsi sebagai pusat berbagai kegiatan termasuk perkantoran, bahkan penjara.

Berbagai catatan sejarah pernah terjadi di Fort Marlborough ini, diantaranya tentang berbagai kejadian dalam kehidupan bangsa Inggris di Bengkulu saat itu, beberapa pesta perkawinan diantara mereka, berbagai kisah perniagaan rempah-rempah, peperangan-peperangan yang terjadi, hingga kisah gugurnya Hamilton, gugurnya Thomas Parr dan penundukan / penguasaan benteng ini selama lebih kurang enam bulan oleh perlawanan Tobo Bengkulu dengan Rajo Lelo-nya.

Dalam usia yang sudah mencapai tiga abad, nilai bangunan ini tentu lebih dari sekedar bangunan bersejarah yang berada di Bumi Bengkulu ini. Tetapi Fort Marlborough juga merupakan ‘prasasti’ yang mengisahkan tentang jalinan interaksi dua bangsa yang berbeda, yaitu bangsa Inggris dan bangsa Melayu Bengkulu’. Fort Marlborough bagaikan ‘permata sejarah’ yang menyatukan kenangan manis dari dua bangsa yang berbeda dalam sebuah untaian kalung ‘kehormatan peradaban’-nya masing-masing. Fort Marlborough adalah situs yang tiada boleh dilewatkan ketika wisatawan mengunjungi Bengkulu.





Benteng Marlborough
Merupakan peninggalan sejarah kolonial Inggris terbesar di kawasan asia. Benteng Marlborough berdiri dengan megahnya dan menghadap ke arah selatan, meliputi area 31,5 Ha. Salah satu daya tarik benteng ini mempunyai tipikal abad 18 yang berbentuk kura-kura. Lokasi benteng dipusat kota berbatasan dengan Perkampungan China, yang juga kawasan obyek wisata. Benteng ini dibangun tahun 1714 – 1719 di bawah pimpinan Gubernur Joseph Collet. Di salah satu kamar benteng ini pernah dihuni Presiden RI pertama Ir. Soekarno ketika menjalani hukuman buangan masa penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan Benteng Marlborough dipugar oleh pemerintah dan menjadi salah satu obyek wisata Kota Bengkulu.


Inilah satu-satunya benteng peninggalan Inggris yang terbesar di Indonesia. Benteng Marlborough dibangun rentang 1714 hingga 1719 oleh perusahaan dagang Inggris EIC semasa Gubernur Joseph Callet.
Berdirinya benteng ini menjadi awal lahirnya pula kota Bengkulu, karena disekitar benteng tumbuh kota dan pusat perdagangan. Setelah kekuasaan Inggris berakhir, maka Belanda mengambil alih benteng ini sebagai tempat pertahanan mereka.
Hingga kini kawasan Benteng Marlborough dikenal sebagai lokasi wisata sejarah yang cukup lengkap. Tak jauh dari benteng ada perkampungan Cina yang usianya ratusan tahun, selain itu ada pula Monumen Thomas Parr, Monumen Hamilton, dan Bunker Jepang.
Tak kalah menarik adalah kehadiran situs komplek makam Inggris, dengan nisan yang unik dan menarik. Disinilah dahulu ratusan orang Inggris yang meninggal akibat perang atau penyakit dimakamkan.


Benteng Marlborough (Fort Marlborough)  adalah peninggalan sejarah yang ada di kota Bengkulu. Benteng terletak di pusat kota di daerah yang disebut Kampung. Namanya  memang Kampung, tetapi lokasinya  dekat rumah dinas Gubernur yang megah dan beberapa lokasi  yang terkenal dengan pertokoan dan wisata kuliner serta  wisata pantai Tapak Paderi. Di toko perhiasan di depan benteng inilah kupotongkan cincinku. :P
Marlborough adalah sebutan dan nama resminya, tetapi masyarakat setempat menyebutnya Malabro,  (kabarnya Malioboro berasal dari kata Marlborough juga, benarkah?). Nama benteng ini menggunakan nama seorang bangsawan dan pahlawan Inggris, yaitu John Churchil, Duke of Marlborough I.
Benteng dibangun oleh usaha dagang dari  Inggris, East Indian Company  awal abad 18 (1713 – 1719).  Gubernurnya pada waktu itu bernama Joseph Callet. Bangunan benteng  menyerupai kura-kura ini berdiri di atas lahan seluas sekitar 44.100 meter persegi dan menghadap ke arah selatan.
Pemerintahan kolonial Inggris menguasai Propinsi Bengkulu selama lebih kurang 140 tahun (1685 – 1825). Sehingga benteng ini pun masih memiliki bentuk yang sesuai dengan desain asli bangunan abad ke-17. Bentuk benteng ini mirip dengan gambaran benteng di film-film barat yang dikelilingi parit dan ada jembatannya, terletak di pinggir laut.
.
Pada awalnya benteng ini untuk kepentingan militer, tetapi kemudian berfungsi juga untuk perdagangan  dan pengawasan jalur perdagangan yang melewati Selat Sunda.


Pada masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles pada 1818 – 1824 Bengkulu menjadi terkenal. (Bunga bangkai, Rafflesia arnoldi,  mengambil nama dari Raffless yang sekarang menjadi lambang propinsi Bengkulu).  Pada 1825 Inggris yang menguasai Bengkulu melakukan tukar menukar dengan Belanda yang menguasai Malaysia dan Singapura. Belanda selanjutnya menempati benteng Malborough sampai perang dunia II yang pada akhirnya semua wilayah Sumatera diduduki tentara Jepang sampai Jepang menyerah kalah pada 1945. Setelah kemerdekaan RI tahun 1945 benteng tersebut digunakan oleh TNI dan polisi sampai tahun 1970. Setelah kemerdekaan RI Bengkulu merupakan salah satu Keresidenan di Provinsi Sumatera Selatan, baru pada tahun 1968 Bengkulu terwujud menjadi Provinsi yang berdiri sendiri dan lepas dari Provinsi Sumatera Selatan.

Benteng inipun pernah dipakai sebagai tempat penahanan Bung Karno.
Di sini juga  dipakai sebagai tempat tinggal petinggi militer Inggris, sehingga mirip kota kecil, terlihat dari catatan yang tertinggal yang masih tersimpan  terkait dengan perkawinan, pembaptisan dan kematian.




Monumen Thomas Parr
Monumen ini dikenal rakyat Bengkulu dengan sebutan Kuburan Bulek (bulat) karena bentuk monumen tersebut yang berbentuk bulat. Disinilah dikubur seorang penguasa Inggris Residen Thomas Parr. Ia seorang penguasa yang kejam. Sejak ia berkuasa tahun 1805, ia memaksa rakyat menanam komoditi yang laku di pasaran dunia. Sejauh 1 km dari kawasan ini juga terdapat komplek pemakaman warga eropa terutama Inggris. Taman pemakaman ini menjadi obyek wisata sejarah dan nostalgia terutama bagi warga negara Inggris yang berkunjung.


 Rumah Bung Karno
Dalam masa perjuangan merebut kemerdekaan, Bung Karno pernah diasingkan ke Bengkulu dari tahun 1938 sampai 1942. Rumah tempat pengasingan beliau tersebut terletak di Jalan Soekarno Hatta Kelurahan Anggut Atas. Rumah kediaman Bung Karno merupakan salah satu daya tarik wisata yang memiliki nilai historis di Bengkulu. Peninggalan Bung Karno berupa buku-buku, sepeda, tempat tidur serta foto-foto semasa perjuangannya menjadi obyek wisata sejarah. Tidak jauh dari kediaman Bung Karno terdapat rumah kediaman Fatmawati Ibu Negara yang mendampingi Bung Karno serta melahirkan Presiden Ke-5 Republik Indonesia; Megawati Soekarno Putri.

Benteng Duurstede di Saparua Maluku



Benteng Duurstede - Ambon 
Benteng ini terletak di kota Saparua, kurang lebih 50 mil dari  Ambon. Benteng peninggalan Belanda ini dibangun pertama kali pada tahun 1676 oleh Arnold de Vlaming van Oudshoor dan kemudian tak lama dilanjutkan pembangunanya kembali oleh Nicolaas Schaghe yang pada  saat itu menjabat sebagai Gubernur Ambonia pada tahun 1690. Diberi nama Duurstede oleh Gubernur Nicolaas Schagen sesuai dengan nama negeri kelahirannya di negeri Belanda. Benteng ini cukup unik, karena benteng ini dibangun diatas batu karang setinggi 20 kaki. Untuk naik ke benteng ini anda harus sanggup unruk melalui tangga yang memiliki 24 buah anak tangga dengan satu pintu masuk pada bagian depan. Didepan benteng tersebut terdapat sebuah “sumur maut” karena ada beberapa serdadu Belanda yang mengambil air dari sumur tersebut mati dicegat pasukan Pattimura.Benteng ini terletak dikawasan pinggir pantai berpasir putih dengan airnya yang jernih. Jika Anda berada diatas benteng ini dapat menikmati pemandangan yang indah dan laut Pulau Saparua yang luas terhampar dengan perahu nelayan yang berlayar di kejauhan.
Benteng Duurstede - Ambon